INILAH.COM, Jakarta – Di bawah penguasaan pengusaha Amerika Serikat (AS), Manchester United menjadi klub raksasa yang terancam terpuruk seperti Liverpool di bawah duo AS Tom Hicks dan George Gillet.
MU dan Liverpool kini sama-sama memegang rekor 18 trofi liga Inggris. Musim lalu, MU gagal merengkuh kembali gelar Liga Primer Inggris yang lepas ke tangan Chelsea dan “hanya” menempati runner up.
Sebaliknya Liverpool justru terpuruk dan hanya mampu bertengger di posisi tujuh klasemen akhir sehingga terpental dari kepesertaan di Liga Champions.
Masalah keuangan ditengarai sebagai penyebab terpuruknya Liverpool dari klub elite menjadi tak ubahnya seperti klub promosi yang penampilannya labil bahkan terseok-seok. Liverpool tidak hanya jatuh di ajang kompetisi tetapi juga di pasaran.
Di bawah Hicks dan Gillet, Liverpool terlilit utang kepada Royal Bank of Scotland (RBS) yang kemudian memasukkan klub Merseyside itu sebagai aset bermasalah dan nyaris dilelang dengan harga obral. Investor baru tak kunjung datang, sedangkan duo Amerika itu, boro-boro menyuntikkan dana segar, membayar utang 237 juta pounds (sekitar Rp3,39 triliun) ke RBS yang jatuh tempo Oktober 2010 itu pun mereka tak sanggup.
Hicks dan Gillet menjadi musuh bersama Liverpudlian, fans Liverpool. Keduanya dianggap sebagai biang kerok terpuruknya The Reds dari sisi ekonomi sebagai entitas bisnis maupun dari aspek prestasi sebagai klub Liga Primer. Mereka dianggap hanya berambisi mengambil keuntungan tanpa mau membesarkan klub.
Beruntung, di saat-saat terakhir, muncul investor AS lainnya, John W Henry yang kemudian mengambil alih Liverpool. Sejak itu, harapan kebangkitan kembali muncul dan makin makin membubung manakala legenda The Reds Kenny Dalglish datang menggantikan Roy Hodgson Januari silam. Perlahan, The Kop merangkak dari tim papan bawah di klasemen, kini posisinya naik ke urutan ke-6.
Dengan posisinya di puncak klasemen, MU berpotensi merengkuh kembali gelar Liga Primer dan bahkan berpeluang meraih kembali Treble Winners karena belum terpental dari Piala FA dan Liga Champions yang memasuki babak semifinal dan perempatfinal. Namun, secara finansial, MU terancam menghadapi situasi seperti Liverpool tersebut jika masalah keuangan itu tidak segera teratasi.
MU diperkirakan memiliki 50 juta pendukung yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Dengan jumlah tersebut, MU disebut-sebut sebagai klub dengan jumlah terbanyak di kolong langit ini.
Porfil MU sebagai klub papan atas dengan pendukung yang mencapai puluhan juta di berbagai penjuru dunia tersebut membuat uang mengalir ke pundi-pundi klub yang ditangani pelatih terkemuka Sir Alex Ferguson itu.
Kondisi seperti itu pula yang membuat MU harus mendatangkan para pemain kelas dunia agar memiliki daya magis menyedot 76.000 penonton menjejali Stadion Old Trafford dan mampu menyuguhkan permainan yang menghibur mereka. Dengan begitu, penonton pembeli tiket, yang sejak diambil alih keluar pengusaha AS Malcom Glazer, harganya melonjak hingga 42 persen dalam enam tahun terakhir ini, terpuaskan.
Namun, data laporan keuangan terbaru yang dilansir pekan ini memperlihatkan MU tengah dirundung masalah keuangan cukup serius. MU merugi 108,9 juta poundsterling (lebih dari Rp1,5 triliun) pada tahun buku 2010 yang berakhir Juni. Itulah yang bisa menjelaskan kenapa MU termasuk klub besar yang sangat hemat dalam urusan belanja pemain. Padahal, para pesaing utama MU, seperti Manchester City dan Chelsea rajin berbelanja pemain untuk memperkuat skuad mereka.
Maklum, uang dari kontribusi fans membeli tiket pertandingan ditengarai dibelanjakan untuk membayar utang Glazer saat mengambil alih Setan Merah pada 2005. Untuk membayar bunga utang saja, MU harus mengalokasikan dana sekitar 400 juta poundsterling (sekitar Rp5,7 triliun).
Tahun lalu, MU mengeluarkan hampir 100 juta pounds (sekitar Rp1,4 triliun) untuk membayar bunga utang itu. Bandingkan dengan pendapatan yang diinvestasikan kembali untuk belanja pemain guna memperkuat tim yang hanya 56 juta pounds (sekitar Rp800,8 miliar). Anggaran pembelian pemain tersebut masih di bawah bujet belanja yang digelontorkan Manchester City, Chelsea, Tottenham, Aston Villa, dan Sunderland.
Di bawah kepemilikan keluarga Glazer, harga rata-rata tiket musiman South Stand Old Trafford (kelas eksekutif/VIP) naik menjadi 500-930 pounds (sekitar Rp7,15 juta-13,3 juta). Para fans pun menuding Glazer yang hanya mengeruk duit dari para pendukung dan sponsor.
Duncan Drasdo, Kepala Eksekutif Manchester United Supporters Trust yang turut menghimpun gerakan Hijau dan Emas anti-Glazer termasuk yang terus menerus lantang menyuarakan kegeramannya yang juga dirasakan para fans. Dia geram para suporter hanya dieksploitasi untuk mendanai rezim Glazer.
“Ini menyakitkan orang yang membayar tiket dengan harga yang terus naik setiap musimnya di bawah kepemilikan Glazer, tetapi uangnya terbuang dan tidak diinvestasikan untuk memperkuat skuad pemain,” ujar Drasdo.
Musim ini, investasi MU untuk belanja pemain ialah dengan memboyong defender Chris Smalling dari Fulham dengan nilai transfer 12 juta pounds (sekitar Rp171,6 miliar) dan striker Javier Hernandez dari klub Meksiko Chivas Guadalajara dengan nilai 7 juta pounds (sekitar Rp100,1 miliar).
Kondisi tersebut sempat membuat bintang MU Wayne Rooney hampir hengkang dari Old Trafford karena menanggap manajemen tidak punya komitmen menjadikan MU sebagai klub besar dengan menggaet pemain besar pula guna menguatkan skuad Setan Merah.
Fans MU patut kesal terhadap keluarga Glazer karena mereka dipandang sebagai biang pangkal yang memunculkan masalah keuangan. Sebelum Glazer mengambil alih, MU dengan nilai fantastis 790 juta pounds (sekitar Rp11,3 triliun), Setan Merah tidak punya utang dan bunga yang harus dibayar.
Itulah yang memicu munculnya gerakan anti-Glazer. Gerakan perlawanan fans terhadap pemilik itu pula yang sebelumnya merundung Liverpool lantaran Liverpudlian marah dan menuding Hicks dan Gillet sebagai penyebab The Reds terlilit utang. Liverpool gonjang-ganjing dan klub itu terus terpuruk. Performa sepakbolanya jeblok dan keuangannya anjlok sampai gagal bayar atas utang terhadap RBS. Setelah melalui tarik ulur dan pertikaian pengadilan, John W Henry yang juga dari AS akhirnya mengambil alih kepemilikan Liverpool pada Oktober 2010 dengan nilai pembelian senilai 300 juta poundsterling (Rp4,2 triliun).
Akankah The Red Devils mengulangi kisah kelam The Reds itu? Waktu juga yang akan menjawabnya.
MU dan Liverpool kini sama-sama memegang rekor 18 trofi liga Inggris. Musim lalu, MU gagal merengkuh kembali gelar Liga Primer Inggris yang lepas ke tangan Chelsea dan “hanya” menempati runner up.
Sebaliknya Liverpool justru terpuruk dan hanya mampu bertengger di posisi tujuh klasemen akhir sehingga terpental dari kepesertaan di Liga Champions.
Masalah keuangan ditengarai sebagai penyebab terpuruknya Liverpool dari klub elite menjadi tak ubahnya seperti klub promosi yang penampilannya labil bahkan terseok-seok. Liverpool tidak hanya jatuh di ajang kompetisi tetapi juga di pasaran.
Di bawah Hicks dan Gillet, Liverpool terlilit utang kepada Royal Bank of Scotland (RBS) yang kemudian memasukkan klub Merseyside itu sebagai aset bermasalah dan nyaris dilelang dengan harga obral. Investor baru tak kunjung datang, sedangkan duo Amerika itu, boro-boro menyuntikkan dana segar, membayar utang 237 juta pounds (sekitar Rp3,39 triliun) ke RBS yang jatuh tempo Oktober 2010 itu pun mereka tak sanggup.
Hicks dan Gillet menjadi musuh bersama Liverpudlian, fans Liverpool. Keduanya dianggap sebagai biang kerok terpuruknya The Reds dari sisi ekonomi sebagai entitas bisnis maupun dari aspek prestasi sebagai klub Liga Primer. Mereka dianggap hanya berambisi mengambil keuntungan tanpa mau membesarkan klub.
Beruntung, di saat-saat terakhir, muncul investor AS lainnya, John W Henry yang kemudian mengambil alih Liverpool. Sejak itu, harapan kebangkitan kembali muncul dan makin makin membubung manakala legenda The Reds Kenny Dalglish datang menggantikan Roy Hodgson Januari silam. Perlahan, The Kop merangkak dari tim papan bawah di klasemen, kini posisinya naik ke urutan ke-6.
Dengan posisinya di puncak klasemen, MU berpotensi merengkuh kembali gelar Liga Primer dan bahkan berpeluang meraih kembali Treble Winners karena belum terpental dari Piala FA dan Liga Champions yang memasuki babak semifinal dan perempatfinal. Namun, secara finansial, MU terancam menghadapi situasi seperti Liverpool tersebut jika masalah keuangan itu tidak segera teratasi.
MU diperkirakan memiliki 50 juta pendukung yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Dengan jumlah tersebut, MU disebut-sebut sebagai klub dengan jumlah terbanyak di kolong langit ini.
Porfil MU sebagai klub papan atas dengan pendukung yang mencapai puluhan juta di berbagai penjuru dunia tersebut membuat uang mengalir ke pundi-pundi klub yang ditangani pelatih terkemuka Sir Alex Ferguson itu.
Kondisi seperti itu pula yang membuat MU harus mendatangkan para pemain kelas dunia agar memiliki daya magis menyedot 76.000 penonton menjejali Stadion Old Trafford dan mampu menyuguhkan permainan yang menghibur mereka. Dengan begitu, penonton pembeli tiket, yang sejak diambil alih keluar pengusaha AS Malcom Glazer, harganya melonjak hingga 42 persen dalam enam tahun terakhir ini, terpuaskan.
Namun, data laporan keuangan terbaru yang dilansir pekan ini memperlihatkan MU tengah dirundung masalah keuangan cukup serius. MU merugi 108,9 juta poundsterling (lebih dari Rp1,5 triliun) pada tahun buku 2010 yang berakhir Juni. Itulah yang bisa menjelaskan kenapa MU termasuk klub besar yang sangat hemat dalam urusan belanja pemain. Padahal, para pesaing utama MU, seperti Manchester City dan Chelsea rajin berbelanja pemain untuk memperkuat skuad mereka.
Maklum, uang dari kontribusi fans membeli tiket pertandingan ditengarai dibelanjakan untuk membayar utang Glazer saat mengambil alih Setan Merah pada 2005. Untuk membayar bunga utang saja, MU harus mengalokasikan dana sekitar 400 juta poundsterling (sekitar Rp5,7 triliun).
Tahun lalu, MU mengeluarkan hampir 100 juta pounds (sekitar Rp1,4 triliun) untuk membayar bunga utang itu. Bandingkan dengan pendapatan yang diinvestasikan kembali untuk belanja pemain guna memperkuat tim yang hanya 56 juta pounds (sekitar Rp800,8 miliar). Anggaran pembelian pemain tersebut masih di bawah bujet belanja yang digelontorkan Manchester City, Chelsea, Tottenham, Aston Villa, dan Sunderland.
Di bawah kepemilikan keluarga Glazer, harga rata-rata tiket musiman South Stand Old Trafford (kelas eksekutif/VIP) naik menjadi 500-930 pounds (sekitar Rp7,15 juta-13,3 juta). Para fans pun menuding Glazer yang hanya mengeruk duit dari para pendukung dan sponsor.
Duncan Drasdo, Kepala Eksekutif Manchester United Supporters Trust yang turut menghimpun gerakan Hijau dan Emas anti-Glazer termasuk yang terus menerus lantang menyuarakan kegeramannya yang juga dirasakan para fans. Dia geram para suporter hanya dieksploitasi untuk mendanai rezim Glazer.
“Ini menyakitkan orang yang membayar tiket dengan harga yang terus naik setiap musimnya di bawah kepemilikan Glazer, tetapi uangnya terbuang dan tidak diinvestasikan untuk memperkuat skuad pemain,” ujar Drasdo.
Musim ini, investasi MU untuk belanja pemain ialah dengan memboyong defender Chris Smalling dari Fulham dengan nilai transfer 12 juta pounds (sekitar Rp171,6 miliar) dan striker Javier Hernandez dari klub Meksiko Chivas Guadalajara dengan nilai 7 juta pounds (sekitar Rp100,1 miliar).
Kondisi tersebut sempat membuat bintang MU Wayne Rooney hampir hengkang dari Old Trafford karena menanggap manajemen tidak punya komitmen menjadikan MU sebagai klub besar dengan menggaet pemain besar pula guna menguatkan skuad Setan Merah.
Fans MU patut kesal terhadap keluarga Glazer karena mereka dipandang sebagai biang pangkal yang memunculkan masalah keuangan. Sebelum Glazer mengambil alih, MU dengan nilai fantastis 790 juta pounds (sekitar Rp11,3 triliun), Setan Merah tidak punya utang dan bunga yang harus dibayar.
Itulah yang memicu munculnya gerakan anti-Glazer. Gerakan perlawanan fans terhadap pemilik itu pula yang sebelumnya merundung Liverpool lantaran Liverpudlian marah dan menuding Hicks dan Gillet sebagai penyebab The Reds terlilit utang. Liverpool gonjang-ganjing dan klub itu terus terpuruk. Performa sepakbolanya jeblok dan keuangannya anjlok sampai gagal bayar atas utang terhadap RBS. Setelah melalui tarik ulur dan pertikaian pengadilan, John W Henry yang juga dari AS akhirnya mengambil alih kepemilikan Liverpool pada Oktober 2010 dengan nilai pembelian senilai 300 juta poundsterling (Rp4,2 triliun).
Akankah The Red Devils mengulangi kisah kelam The Reds itu? Waktu juga yang akan menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar